Minyak bumi dan minyak bumi (BBM), minyak bumi dan produk kesehatan lainnya adalah salah satu bahan bakar yang paling banyak digunakan di hampir semua negara. Semua negara, termasuk Indonesia, akan membutuhkan produksi minyak untuk berbagai keperluan, termasuk konsumsi dan produksi, untuk mendorong perekonomian, seperti meningkatkan produksi di sektor industri dan transportasi. Kami tahu bahwa minyak bumi tidak digunakan kembali, sehingga kapasitas produksi berkurang seiring waktu. Masalah ini menarik untuk dibahas setiap saat karena ukurannya yang kecil, namun perannya sebagai sumber energi yang kuat tidak dapat diubah, sehingga minyak tetap dibutuhkan dan bahan bakar di dalam tangki akan bertambah.
Produsen Minyak Terbesar Di Dunia
Sama halnya di Indonesia, berbeda di sini, mungkin istilah ini tepat untuk menggambarkan keadaan industri Indonesia dan minyak (migas) di Indonesia. Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa harga minyak Indonesia mencapai 1,65 juta barel per hari pada tahun 1977. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari 11 produsen minyak terbesar di dunia.
Indonesia saat itu sebagai anggota OPEC juga memiliki kekuatan yang besar. Dari segi perekonomian masyarakat, maka perusahaan migas juga memberikan kontribusi sebagian besar perekonomian negara. Hasil studi yang dilakukan oleh Reform Institute menyebutkan bahwa pada tahun 1970-an dan 1990-an sektor media, migas menghasilkan 62,88% pendapatannya. Ekspor migas Indonesia juga mencapai 20,66 miliar. Namun kenyataannya, sebaliknya, Indonesia harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Indonesia
Kekurangan minyak dan gas yang terus berlanjut telah membawa lebih banyak minyak ke Indonesia. Krisis dimulai ketika harga minyak terus naik dan harga minyak Indonesia terus naik di hadapan semakin banyak mobil, pemilik sepeda motor, dan pengemudi. Untuk memenuhi kebutuhan listrik (BBM) yang terus meningkat di negara kita, Indonesia mengekspor ratusan ribu barel per hari dari negara lain.
Konsumsi BBM sekitar 1,6 juta barel per hari, sedangkan potensi produksi berdasarkan data terkini dari Kelompok Operasi Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) hanya 770 barel per hari. Itu sangat rendah dibandingkan dengan APBN sebanyak 800.000 bom sehari. Ketidaksesuaian antara produksi dan konsumsi membuat Indonesia sangat bergantung pada impor minyak. Ekspor minyak mentah mencapai 8,2 miliar, atau Rp. 117,2 milyar (senilai Rp 14.300). Harga tersebut menjadikan Indonesia sebagai perusahaan (minyak mentah) terbesar kedua di Asia Tenggara. Minyak mentah Indonesia yang tidak memenuhi kebutuhan listrik karena adanya sumur migas Indonesia. Produksi dari sumur sebelumnya (barrier) akan berkurang. Saat ini, 70% produsen minyak dan gas berusia di atas 30 tahun. Beberapa contohnya adalah Rokan (1951), Pertamina EP (1957), Sanga-sanga (1972), Mahakam (1974), Cornidor (1987), Natune Sea “A” Offshore (1990), dkk. Di sisi lain, Indonesia tidak memiliki pasokan listrik lain yang menjamin akses listrik. Akibatnya, cadangan minyak Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun.
Indonesia Terus Mengimpor Minyak Dan Gas
Sumber daya alam juga berkontribusi pada menipisnya minyak dan gas di Indonesia, di mana harga minyak dan gas Indonesia tinggi, naik 28% per tahun. Jika Indonesia terus mengimpor minyak dan gas, maka akan memberikan kontribusi finansial bagi keberlangsungan kontraknya. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih untuk mendapatkan minyak dan gas.
Menurut saya, satu-satunya cara yang mungkin dilakukan adalah mengembangkan sistem produksi migas modern untuk meningkatkan pertumbuhan minyak dan meningkatkan efisiensi semua komponen untuk mengurangi permintaan minyak, misalnya aplikasi energi terbarukan seperti bioetanol yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar. Minyak di tempat. Selain itu, eksplorasi cadangan minyak Indonesia Timur (KTI) lebih lanjut dapat dilakukan yang belum dilakukan dengan benar karena lokasi eksplorasi minyak di Jawa dan Sumatera masih sedikit.